Author : Stevanus Pv |
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
"Ahh sakit sekali Ayah, berhenti!"
Matahari sudah mulai menampakan dirinya, dan sekali lagi aku terbangun dari mimpiku. Mimpi yang sudah menghantuiku sejak 5 tahun yang lalu. Tamparan dan siksaan yang kualami dari ayah kandungku masih terasa membekas di pikiranku. Terdengar suara ibu tiriku yang sontak mengembalikan kesadaranku "Emily cepat bangun, sudah waktunya kamu masuk sekolah!"
Perkenalkan namaku adalah Emily, seorang gadis biasa berumur 17 tahun dan bersekolah di SMA swasta seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Tapi di balik kisahku ini tidak ada yang tahu apa yang sebetulnya telah terjadi di kehidupanku sebelum aku di angkat anak oleh ibu tiriku yang sesungguhnya cukup penyayang, hanya saja memang aku yang masih takut oleh sentuhan orang tua.
Kuambil handuk karena jam sudah menunjukan pukul 05.30 dan bergegas mandi.
"Emily sarapan ya nak, itu sudah ada nasi goreng sisa nasi tadi malam" Celetuk Ibu tiriku yang melihatku keluar dari kamar mandi. Sesungguhnya ibu tiriku bisa di bilang sebagai sesosok orang yang cukup baik. Beliau tidak pernah memaksaku untuk memeluknya ataupun sentuhan fisik lainnya. Tapi hanya saja sentuhan tangan yang teringat di isi kepalaku hanyalah berisikan luka dan rasa sakit.
"Baik ibu, ibu tidak siap-siap untuk berangkat kerja ?"
Kulihat nasi goreng dengan telur dadar sudah tersajikan di meja,tetapi aku melihat penampilan ibu tiriku hari ini cukup lelah. Hal itu terlihat dari raut wajahnya yang kusut seperti banyak hal yang dipikirkannya.
"Ibu akan istirahat dulu nak. Tadi malam ibu lembur karena banyak sekali pembukuan dari bos yang nilai nya tidak cocok sama sekali." Ibu berjalan tersenyum ke arahku.
Sesungguhnya hari-hariku kulalui dengan penuh ketakutan meskipun ibu tiriku selalu ada dan menguatkanku. Jika ku ingat-ingat kembali, perlakuan ayah kandungku dulu terus saja berjalan-jalan di kepalaku. Kemarahannya yang bisa meledak kapan saja seperti berjalan di atas cangkang telur, dinginnya perilaku ayah kandungku sejak ibu kandungku meninggal. Makian yang selalu aku terima, ocehan nya setiap hari yang selalu membahas tentang kematian ibu kandungku karena aku. Tahun-tahun penindasan yang aku alami sejak kecil hingga akhirnya pihak perlindungan anak yang mengetahui kekerasan yang ku alami memberikan aku perlindungan sementara dan penghiburan sejenak di hatiku. Satu-satunya hal yang bisa memberikan perlindungan di hatiku sebelum Perlindungan anak membawaku hanyalah sebuah kanvas dan kuas lukis pemberian ibu kandungku. Aku mengakuinya, sapuan kuas ke kanvas yang seperti memahami emosiku yang bercampur aduk. Tak terasa aku menjadikan seni sebagai tempat perlindunganku. Tempatku melarikan diri dari dunia nyata, tempat untuk menghindari realita yang harus aku hadapi dan aku terima saat masih kecil dan tempatku mengeluarkan seluruh emosi dan kata-kata yang tidak bisa aku sampaikan dirumah.
Akhirnya aku sudah tiba di gerbang sekolah, langsung saja aku berlari dan tidak lupa mengucapkan salam kepada satpam penjaga sekolah.
"Selamat pagi pak."
"Pagi juga dek Emily, buruan masuk kelas." Balas satpam penjaga sekolah. Aku bersemangat untuk bergegas menuju kelasku karena pelajaran pertama hari ini adalah seni rupa. Meskipun kegelapan masih menghantui diriku tapi aku percaya aku masih punya seberkas cahaya yang bisa aku kuak nantinya di antara kegelapan. Karena aku percaya bahwa jalan menuju kebebasan penuh dengan rintangan dan tekad yang ku punya pasti akan diuji kedepannya.
Aku mempunyai satu teman yang sangat aku percaya bernama Annie tetapi aku masih belum mampu untuk menceritakan kepadanya kisah pilu yang aku alami di masa kecil. Ingin rasanya aku berdiri dan berteriak mencari simpatik kepada diriku dan memberanikan diriku untuk melawan penindasan dan membalaskan sakit yang pernah kualami atas segala tindakan ayah kandungku terhadapku. Tapi terlepas dari itu aku masih nyaman mencari perlindungan dalam momen-momen kebaikan dan pengertian kecil, berpegang pada kuas lukis seperti memegang tali pengaman di lautan keputusasaan.
Akhirnya hari ini berakhir dengan cepat, tak terasa bel pulang sekolah sudah berdentang. Teng teng Teng, membuatku tertawa karena suaranya mengingatkanku pada sebuah iklan di sosial media. Kulihat temanku Annie sudah menunggu ku di depan pintu kelas dan aku langsung menyapanya.
"Ibu Annie, cantik sekali hari ini. Sudah menungguku puluhan purnama ya di depan pintu kelas hahaha."
"Ahh elu dari dulu sopan banget jadi orang, gaul sedikit napa biar kaga dibilang kuper ama orang-orang." Memang betul aku kurang pergaulan karena sejatinya aku hanya diam dan tak banyak bicara di kehidupan masa remajaku ini.
"Jadi kita mau jalan kemana hari ini?"
"Gimana kalau kita hari ini beli bakso? Terus numpang duduk di minimarket yang ada di ujung sana?"
"Hmmm... Oke bos Annie, yang penting bayarin ya hihi."
"Ahh elu mah gitu, gua bayarin 10rebu perak doang yee." Lalu kami berjalan berdua menuju bakso langganan Annie yang ada di dekat sekolah. Akhirnya kami berdua makan bakso dan saling bercanda dan bercerita tentang kegiatan kami di sekolah hari ini lalu ada telepon masuk di hpku. Kulihat nama penelepon adalah nama ibu tiriku, dengan cepat aku langsung menerima panggilannya.
"Halo,ya bu? Lagi kerja ?"
"Emily, kamu sudah selesai sekolah kan nak ? Hari ini kamu langsung pulang ke rumah ya. Ibu sudah dirumah dan ada hal penting yang terjadi yang harus ibu sampaikan."
"Baik bu,Emily akan langsung pulang setelah selesai makan siang."
Akupun pamit dan minta maaf ke Annie karena tidak bisa menemaninya lagi dan bergegas pulang. Aku mulai berpikir keras, kenapa ibu tiriku tiba-tiba menyuruhku pulang. Apakah ibu tiriku menyerah untuk mengasuhku. Apakah aku melakukan kesalahan. Berbagai macam pikiran yang negatif dan menakutkan menyerang pikiranku. Terlihat dari kejauhan ada mobil hitam terpakir di depan rumah Ibu tiriku. Kulangkahkan kakiku dengan penuh pikiran yang kalut untuk menemui ibu tiriku. Kulihat ada seorang pria paruh baya sedang duduk di sofa bersama dengan ibu tiriku yang sedang mengobrol. Begitu Ibu tiriku melihatku beliau langsung memulai percakapan denganku.
"Emily ini om Andi, beliau dari rumah sakit Karmen. Ada sesuatu yang ingin om Andi katakan kepadamu. Ini berkaitan dengan ayah kandungmu nak."
*Deg... Jantungku berdetak kencang mendengar kata Ayah. Terbayang sakit dan ketakutan yang aku alami di masa kecilku.
"Eummm... Apa om Andi ingin membawa Emily kembali pulang ke rumah Ayah? Gak mungkin kan om? Ayah sudah berbuat jahat kepada Emily dan Emily gak mau bertemu dengan ayah lagi."
Om Andi tersenyum mencoba untuk menenangkan aku yang sudah mulai pucat dan seraya berkata "Nak Emily. Disini om Andi dari pihak rumah sakit hanya ingin memberitahu nak Emily bahwa ayah kamu sedang terbaring sakit di rumah sakit karena kanker ganas."
"Jadi om Andi disini ingin mengajak Emily untuk menemui ayah Emily untuk yang terakhir kalinya. Apakah Emily mau ikut dengan om Andi ? Emily tenang saja setelah ini selesai Emily nanti akan kembali pulang kemari."
Mendengar cerita dan tujuan om Andi aku merasakan rantai-rantai kekangan dari ayah kandungku yang ingin sekali kuputuskan. Segala emosi yang telah aku rasakan selama ini, demikian pula dengan kemarahan akan ayahku akhirnya aku memutuskan dengan penuh tekad untuk menyetujui permintaan dari om Andi.
Kupupuskan segala emosi dan perlakuannya kepadaku yang selalu mengancamku . Luka yang membuatku terluka dan hancur. Setiap pukulan dan kekerasan yang aku terima, semangat yang ku tumbuhkan sedikit demi sedikit dan tekad yang kukumpulkan selama ini untuk membebaskan diriku dari apa yang di sebut oleh kebanyakan orang sebagai sosok ayah.
Akhirnya aku menyetujui permintaan om Andi dan memutuskan untuk berangkat keesokan harinya. Kami berangkat menuju rumah sakit dan sesampainya di sana om Andi menyuruhku untuk duduk sebentar karena om Andi akan mengisi berkas-berkas yang diperlukan untuk di setujui.
"Mari masuk Nak Emily." Kata om Andi yang sudah selesai menyelesaikan dokumen yang ada. Kulihat sesosok pria botak tergeletak di ranjang tak berdaya. Terlihat orang tersebut tidak mampu bergerak maupun berbicara karena ada masker oksigen dan infus terpasang di tubuhnya.
"Nak, om Andi disini hanya ingin berbicara singkat. Tolong maafkan semua perkataan dan perbuatan ayahmu kepadamu. Maafkan semua kelalaian yang sudah ia perbuat. Beliau sudah tidak mampu bergerak maupun berbicara, bisa jadi hari ini adalah hari terakhir beliau." Om andi melihatku dan berpikir jawaban apa yang akan keluar dari mulutku.
"Tapi om.. Setelah semua ini terjadi. Bantuan yang aku terima dari perlindungan anak untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Kebebasan yang susah payah aku dapatkan dengan semua bantuan orang. Ketakutan yang langsung aku rasakan saat aku kecil, kemarahan dia yang disebut ayah yang harus aku rasakan meskipun aku menolak untuk mundur."
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak ada yang bisa aku lakukan. Sudah tidak ada tenaga untuk berdiri. Kedua kakiku sudah tak mampu untuk menopang kakiku. Dengan ikhlas aku memutuskan untuk memaafkan semua nya. Berat sekali aku memutuskan hal ini tapi mau sampai kapan rantai kebencian ini akan terus bergulir.
Seminggu kemudian ayahku akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Akhirnya tubuh dinginnya dikremasi. Aku menyaksikan tubuhnya yang dibakar, menyaksikan tubuhnya yang mulai meringkuk dan mulai menjadi abu. Banyak dokumen yang aku tanda tangani pada hari ini. Dan lucunya adalah aku sama sekali tak sedih, bahkan tidak ada orang yang datang melayat kecuali ibu tiriku dan om Andi. Meskipun bekas luka masa lalunya akan selalu ada, tetapi aku akan muncul lagi lebih kuat dan lebih tahan banting dari sebelumnya. Dengan setiap langkah maju aku berjanji masa depan yang akan lebih baik dan bebas dari ketakutan, bertekad untuk tidak pernah lagi membiarkan siapapun memadamkan cahaya semangatku.
Setelah proses kremasi dan abunya ku larutkan di lautan tempat favorit kami dulu. Aku menerima sebuah warisan berupa rumah. Rumah tua tempatku tinggal dulu. Rumah tua yang penuh dengan berbagai kenangan manis dan pahit. Kehangatan ibuku yang memeluk diriku saat aku kecil. Tubuh mungilku yang merasakan hangatnya sentuhan ibu. Tamparan yang sangat keras di pipiku. Pukulan yang membekas di perutku. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ada di sekitar rumah dan kembali ke lautan tempat abu ayahku kularutkan. Matahari mulai terbenam. Daun-daun di pohon yang tadi hijau mulai berubah karena sinar matahari yang terbenam.
"Indahnya."
Dengan langkah yang pasti aku masuk kedalam rumah dan tersenyum. Senyum yang dulu aku miliki. Senyum anak gadis biasa yang pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga.